Sabtu, 02 Februari 2008

jabat tangan

Pertama : Nasab, ada tujuh orang, antara lain :
  1. Ibu kandung (termasuk nenek ke atas).

  2. Anak perempuan kandung (termasuk cucu perempuan ke bawah).

  3. Saudara perempuan (baik sekandung, sebapak, atau seibu).

  4. Saudara perempuan bapak ke atas (baik dari jalur ibu atau bapaknya).

  5. Saudara perempuan ibu ke atas (baik dari jalur ibu atau bapaknya).

  6. Anak perempuan dari saudara laki-laki.

  7. Anak perempuan dari saudara perempuan.

Hal ini berdasarkan firman Alloh :

حُرِّمَتْ عَلَيْكُمْ أُمَّهَاتُكُمْ وَبَنَاتُكُمْ وَأَخَوَاتُكُمْ وَعَمَّاتُكُمْ وَخَالَاتُكُمْ وَبَنَاتُ الْأَخِ وَبَنَاتُ الْأُخْتِ

Diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu; anak-anakmu yang perempuan; saudara-saudaramu yang perempuan, saudara-saudara bapakmu yang perempuan; saudara-saudara ibumu yang perempuan; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang laki-laki; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang perempuan [QS. An-Nisaa’: 23].

Maksud ibu di sini ialah ibu, nenek dan seterusnya ke atas. Dan yang dimaksud dengan anak perempuan ialah anak perempuan, cucu perempuan dan seterusnya ke bawah, demikian juga yang lain-lainnya. Sedang yang dimaksud dengan anak-anak isterimu yang dalam pemeliharaanmu, menurut Jumhur ulama termasuk juga anak tiri yang tidak dalam pemeliharaannya

Kedua : Sepersusuan, ada dua orang, antara lain :

  1. Ibu sepersusuan (termasuk nenek ke atas).

  2. Saudara perempuan sepersusuan

Sebagaimana firman Alloh :

وَأُمَّهَاتُكُمُ اللَّاتِي أَرْضَعْنَكُمْ وَأَخَوَاتُكُمْ مِنَ الرَّضَاعَةِ

Ibu-ibumu yang menyusui kalian; saudara perempuan sepersusuan kalian. .[QS. An-Nisaa’: 23]

Dalam hal ini Rosululloh bersabda :

يحرم من الرضاع ما يحرم من النسب

Sesuatu yang haram karena sepersusuan, hukumnya sama haramnya dengan yang karena nasab (HR. Al-Bukhori :3645).

Dikecualikan dari keumuman ini beberapa bentuk, antara lain :

  1. Ibu saudara laki atau perempuan anda, bisa jadi bukan mahram anda, gambarannya : seorang wanita lain menyusui saudara laki atau perempuan sepersusuan anda, maka dia bukan mahram anda. Ditinjau dari sisi nasab, pasti wanita seperti ini adalah mahram anda, karena dia itu ibu kandung anda, atau isteri bapak anda.

  2. Ibu cucu anda, bisa jadi bukan mahram anda, gambarannya : seorang wanita lain menyusui cucu anda. Ditinjau dari sisi nasab, pasti wanita seperti ini adalah mahram anda, karena dia itu anak perempuan anda, atau menantu anda (isteri anak lelaki).

  3. Nenek anak anda, bisa jadi bukan mahram anda, gambarannya : seorang wanita lain menyusui anak anda, maka ibu wanita tersebut adalah nenek sepersusuan anak anda, tapi bukan mahram anda. Ditinjau dari sisi nasab, pasti wanita seperti ini adalah mahram anda, karena dia itu ibu dari ibu anda, atau ibu isteri anda (mertua).

  4. Saudara perempuan anak anda, bisa jadi bukan mahram anda, gambarannya : seorang wanita lain menyusui anak anda, maka anak perempuan wanita tersebut adalah saudara perempuan sepersusuan anak anda, tapi bukan mahram anda. Ditinjau dari sisi nasab, pasti wanita seperti ini adalah mahram anda, karena dia itu anak kandung perempuan anda, atau anak tiri perempuan anda.

Sebagian ulama berpendapat bahwa pengecualian seperti ini tidak perlu, karena pada asalnya di luar definisi mahram sepersusuan. Akan tetapi kami menilai hal ini perlu diangkat, karena mungkin sebagian kaum muslimin pemahamannya masih samar, sehingga mengalami kesulitan dalam penerapannya. Meski demikian, masih banyak hal yang perlu dijelaskan perincian. Semoga di lain kesempatan bisa kami wujudkan.

Ketiga : Periparan ada empat, antara lain :

  1. Isteri anak (menantu).

  2. Ibu isteri (mertua perempuan, dan kemahramannya cukup karena akad nikah dengan puterinya, walaupun belum berhubungan suami isteri).

  3. Anak isteri (anak tiri, dan kemahramannya setelah berhubungan intim dengan ibunya).

Sebagaimana firman Alloh :

وَأُمَّهَاتُ نِسَائِكُمْ وَرَبَائِبُكُمُ اللَّاتِي فِي حُجُورِكُمْ مِنْ نِسَائِكُمُ اللَّاتِي دَخَلْتُمْ بِهِنَّ فَإِنْ لَمْ تَكُونُوا دَخَلْتُمْ بِهِنَّ فَلَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ وَحَلَائِلُ أَبْنَائِكُمُ الَّذِينَ مِنْ أَصْلَابِكُمْ

Ibu-ibu isterimu (mertua); anak-anak isterimu yang dalam pemeliharaanmu dari isteri yang telah kamu campuri, tetapi jika kamu belum campur dengan isterimu itu (dan sudah kamu ceraikan), maka tidak berdosa kamu mengawininya; (dan diharamkan bagimu) isteri-isteri anak kandungmu (menantu).[QS. An-Nisaa’: 23]

d.Isteri bapak, sebagaimana firman-Nya :

وَلَا تَنْكِحُوا مَا نَكَحَ آَبَاؤُكُمْ مِنَ النِّسَاءِ إِلَّا مَا قَدْ سَلَفَ إِنَّهُ كَانَ فَاحِشَةً وَمَقْتًا وَسَاءَ سَبِيلًا

Dan janganlah kalian kawini wanita-wanita yang telah dikawini oleh ayah kalian, terkecuali pada masa yang telah lampau. Sesungguhnya perbuatan itu amat keji dan dibenci Allah dan seburuk-buruk jalan (yang ditempuh). [QS. An-Nisaa’: 22].

Dengan demikian, yang bukan termasuk mahram (boleh dinikahi) dan tidak boleh berjabatan tangan dengannya diantaranya adalah :

  1. Anak perempuan saudara laki-laki bapak.

  2. Anak perempuan saudara perempuan bapak.

  3. Anak perempuan saudara laki-laki ibu.

  4. Anak perempuan saudara perempuan ibu.

  5. Saudara perempuan isteri.

  6. Anak perempuan teman.

  7. Anak perempuan tetangga.

Dalil Yang Melarang Jabat Tangan Dengan Wanita Bukan Mahramnya.

Adapun dalil yang mengharamkan jabat tangan dengan selain mahram adalah sebagai berikut :

1.Rosululloh bersabda :

لأن يطعن في رأس أحدكم بمخيط من حديد خير له من أن يمس امرأة لا تحل له

Sungguh apabila kepala salah seorang di antara kalian ditusuk dengan jarum besi, hal itu lebih baik dari pada dia menyentuh perempuan yang tidak halal baginya. (Lihat ash-Shohihah no. 226.)

Al-Albani mengomentari : Dalam hadits ini ada ancaman keras terhadap siapa saja yang menyentuh wanita bukan mahramnya. Di dalamnya terdapat dalil akan haramnya menjabat tangan kaum wanita, karena hal itu termasuk menyentuh tanpa ada keraguan. Dewasa ini banyak kaum muslimin yang melanggarnya, di antara mereka ada yang sekaliber ulama, seandainya mereka melanggarnya, akan tetapi hati mereka, maka permasalahannya menjadi lebih ringan. Akan tetapi yang jadi masalah mereka menghalalkanya dengan berbagai jalan dan penafsiran.( Idem.)

2.Rosululloh bersabda :

كتب على ابن آدم نصيبه من الزنا, مدرك ذلك لا محا لة. فالعينان زناهما النظر, والأذنان زناهما الاستماع, واللسان زناه الكلام, واليد زناها البطش, والرجل زناها الخطا, والقلب يهوي ويتمنى, ويصدق ذلك الفرج ويكذبه

Telah pasti untuk anak Adam bagiannya dari zina, pasti dia akan menjumpainya. Kedua mata berzina melalui pandangan. Kedua telinga berzina melalui pendengaran. Lisan berzina melalui pembicaraan. Tangan berzina dengan memegang. Kaki berzina dengan melangkah. Hati berzina dalam bentuk hasrat dan berangan-angan. Kemudian kemaluan akan membenarkannya atau mendustakannya. HR. Al-Bukhori dan Muslim, ini adalah lafadz Muslim.

An-Nawawi berkomentar : Hadits ini menjelaskan bahwa anak Adam telah ditakdirkan bagiannya dari zina, di antara mereka ada yang benar-benar berzina dengan cara memasukkan kemaluan kepada kemaluan yang tidak halal. Di antara mereka ada yang berzina secara kiasan, sepertidengan cara memandang sesuatu yang diharamkan, mendengarkan hal-hal yang menjerumuskan kepada perzinaan serta yang berhubungan dengannya, menyentuh dengan tangan dalam bentuk menyentuh tangan atau mencium wanita yang bukan mahramnya, berjalan kaki menuju perzinaan, melihat, menyentuh, atau bercengkerama dengan wanita yang mahramnya, serta semisalnya, dan termasuk juga memikirkannya dengan hati. (Lihat al-Minhaj karya an-Nawawi ketika menjelaskan hadits di atas)

3.Rosululloh bersabda :

إني لا أصافح النساء

Sesungguhnya aku tidak berjabat tangan dengan kaum wanita (yang bukan mahram-pent.) (Lihat ash-Shohihah no. 226)

4.’Aisyah menyatakan :

ما مست يد رسول الله يد امرأة إلا يملكها

Tangan Rosululloh tidak pernah menyentuh tangan seorang wanita pun, kecuali yang beliau miliki (nikahi dll). HR. Al-Bukhori dan at-Turmudzi.

5.Abdulloh bin ‘Amr bin al-’Ash menyatakan :

كان لا يصافح النساء في البيعة

Adalah Rosululloh tidak menjabat tangan wanita (yang bukan mahramnya) ketika bai’at. Lihat Shohihul Jami’ (4732).

Al-‘Allamah Muhammad al-Amiin asy-Syinqithi mengatakan : Telah tetap Rosululloh bersabda:

إني لا أمس أيدي النساء

Saya tidak menyentuh tangan-tangan kaum wanita. (Lihat Shohihul Jami’ no.(7054))

Juga sabda Beliau :

إني لا أصافح النساء

Sesungguhnya aku tidak berjabat tangan dengan kaum wanita (yang bukan mahram-pent.). Lihat ash-Shohihah no. 226.

Alloh berfirman :

لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ

Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagi kalian. [QS. Al-Ahzab : 21]

Maka wajib bagi kita untuk tidak berjabat tangan dengan kaum wanita bukan mahramnya, sebagai perwujudan sikap peneladanan kita kepada Rosululloh. Bahkan tindakan Beliau yang tidak menjabat tangan kaum wanita ketika baiat, merupakan dalil yang begitu jelas tentang tidak bolehnya seorang lelaki berjabat tangan dengan wanita bukan mahramnya, dan tidak boleh bagian tubuh seorang lelaki menyentuh bagian tubuh wanita bukan mahramnya, karena jenis sentuhan yang paling ringan adalah berjabatan tangan. Apabila Beliau tidak mau melakukannya di saat yang sebenarnya diperlukan jabat tangan (yakni: ketika bai’at), maka hal itu merupakan bukti bahwa perbuatan tersebut tidak boleh dilakukan. Dan tidak seorang pun yang berhak menyelisihi Beliau, karena Beliaulah yang membuat aturan bagi umatnya, baik berupa perkataan, perbuatan maupun ketetapan. (Adhwaaul Bayaan (6/ 603))

6.Seandainya tidak ada dalil-dalil di atas, maka di dalam kaedah :”Menutup pintu-pintu kemungkaran” tersimpan dalil yang amat kuat untuk melarang jabat tangan dengan wanita bukan mahramnya. (Adillah Tahrimi Mushofahah al-Ajnabiyyah karya Muhammad Ahmad Ismail al-Muqoddam, hal. : 19.)

7.Ibnu ‘Athiyyah dan ats-Tsa’labi menukilkan ijma’ para ulama bahwa tangan Nabi tidak pernah sekali pun menyentuh tangan wanita bukanmahramnya. (Al-Muharror al-Wajiiz (4/ 30), al-Jawaahir al-Hisaan (10/ 260-269), dinukil dari Mushoofahah al-Ajnabiyyah fii Miizaanil Islam hal. : 67.)

Pendapat Para Ulama.

Mayoritas ulama sepakat akan tidak bolehnya berjabat tangan dengan kaum wanita bukan mahramnya, berikut ini uraian pendapat-pendapat mereka :

Madzhab Hanafi.

  • Al-Kaasaani menjelaskan : Adapun hukum menyentuh dua anggota badan ini (tapak tangan dan wajah wanita yang bukan mahramnya), adalah tidak halal. Karena hukum bolehnya melihat dua anggota badan tadi adalah karena keadaan darurat yang telah kami uraikan. Sedangkan dalam hal ini tidak ada sikon darurat untuk menyentuh (wanita yang bukan mahramnya). Padahal, menyentuh lebih berpotensi untuk membangkitkan nafsu syahwat dari pada sekedar melihat. Pembolehan perkara yang lebih ringan dari dua perkara, tidak menyebabkan perkara yang lebih berat menjadi boleh. (Lihat Badai’ush Shonaai’ (6/ 2959).)

Madzhab Maliki.

  • Abul Barokaat, Ahmad bin Muhammad bin Ahmad ad-Dardiir menjelaskan : Dan tidak boleh berjabat tangan dengan wanita (bukan mahramnya-pent.), meskipun kaum lelaki sudah tidak berselera kepadanya. (Asy-Syarhush Shoghiir (4/ 760) dengan perantaraan buku Adillah Tahriimi Mushofahah al-Ajnabiyyah, hal. 23.)

  • Ibnu ‘Abdil Baar berkata : Sabda Beliau “Sesungguhnya aku tidak berjabat tangan dengan kaum wanita (yang bukan mahram-pent.)” adalah dalil akan tidak bolehnya seorang lelaki menyentuh wanita bukan mahramnya baik dengan tangannya maupun dengan berjabat tangan dengannya. (At-Tamhiid (12/ 312).)

Madzhab Syafi’i.

  • An-Nawawi menyatakan : Dikarenakan memandang (wanita yang bukan mahramnya-pent.) diharamkan, maka menyentuhnya lebih pantas untuk diharamkan, karena terasa lebih nikmat. (Lihat Roudhotuth Thoolibiin (7/ 28).)

  • Ibnu Hajar menjelaskan : Di dalam hadits ini, ada larangan menyentuh kulit wanita yang bukan mahramnya tanpa ada sikon darurat yang membolehkannya. (Lihat Fathul Bari (13/ 133).)

Madzhab Hambali.

  • Al-Imam Ishaq bin Manshuur al-Maruzi menceritakan : Aku pernah bertanya kepada Ahmad bin Hambal : Apakah anda membenci jabat tangan dengan kaum wanita (bukan mahram-pent.)? Ahmad menjawab : Aku membencinya. (Masail Ahmad wa Ishaq (211/1) dinukil dari ash-Shohihah hadits no.(529).)

Syekh Al-Albani menyatakan :

Kesimpulannya, tidak ada satu hadits shohih pun yang menyebutkan bahwa Nabi pernah berjabat tangan dengan wanita bukan mahramnya, bahkan ketika membaiat mereka, apalagi ketika hanya sekedar bertemu.

Adapun sebagian orang yang berdalil dengan hadits Ummu ‘Athiyyah untuk membolehkan jabat tangan dengan wanita bukan mahramnya (padahal didalamnya tidak disebutkan jabat tangan), kemudian mereka berpaling dari hadits-hadits shohih yang menyebutkan sucinya beliau dari berjabat tangan dengan wanita bukan mahramnya, maka pasti hal ini bukan muncul dari seorang beriman dengan ikhlas, terlebih lagi ada ancaman yang keras terhadap siapa saja yang menyentuh wanita bukan mahramnya, sebagimana hadits (Maksudnya hadits Ma’qil Ibnu Yasaar yang merupakan dalil pertama dalam pembahsan ini.) terdahulu (Ash-Shohihah (3/ 65-66).)

Syekh Abdul Aziz bin Baaz berkata :

Jabat tangan kaum lelaki dengan kaum perempuan yang bukan mahramnya tidak boleh, karena ketika membaiat, Nabi bersabda : Sesungguhnya aku tidak berjabat tangan dengan kaum wanita (yang bukan mahram-pent.). (Lihat ash-Shohihah no. 226.)

Aisyah pernah menyatakan : Tangan Rosululloh tidak pernah menyentuh tangan seorang wanita pun ketika membaiat, kecuali dengan perkataan saja. (HR. Al-Bukhori dan Muslim dan selainnya)

Alloh berfirman : Sesungguhnya Telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah. (QS. Al-Ahzab :21)

Dikarenakan juga bahwa jabat tangan dengan kaum wanita bukan mahramnya merupakan sarana pembawa fitnah bagi kedua belah fihak, maka wajib ditinggalkan. Adapun jabat tangannya seorang wanita dengan kaum wanita, laki-laki mahramnya, seperti bapak, paman dan lainnya, maka tidak ada masalah. (Fatawa ‘Ulama al-Balad al-Haram hal. : 575.)

SYUBHAT DAN BANTAHANNYA.

Uraian singkat ini akan kami tutup dengan pembahasan sebagian syubhat seputarnya, meskipun masih banyak syubhat selain yang kita sebutkan, antara lain:

Syubhat 1 :

Sabda Nabi :

إني لا أصافح النساء

Sesungguhnya aku tidak berjabat tangan dengan kaum wanita (yang bukan mahram-pent.). (Lihat ash-Shohihah no. 226.)

Hal ini tidaklah memberikan pengertian larangan mutlak atas hukum jabat tangan dengan wanita bukan mahramnya, karena hal itu diucapkan berkenaan dengan baiat saja.

Jawab:

Ini adalah persangkaan yang lemah, karena kaidah para ulama menyatakan, bahwa sebab khusus (suatu dalil) tidak diperhitungkan, selama lafadznya bersifat umum, dan inilah keadaan sabda Nabi tersebut di atas, maka keharaman jabat tangan dengan wanita (bukan mahramnya) berlaku mutlak.

Bahkan dalil-dalil yang melarang jabat tangan ketika baiat memberikan pengertian lain yang lebih kuat, yaitu : Kalau saja ketika baiat Beliau tidak menjabat tangan kaum wanita padahal secara asal, baiat itu dengan tangan dan berjabat tangan, maka jabat tangan dengan wanita di luar itu lebih pantas untuk dilarang. (Adillah Tahrimi Mushofahah al-Ajnabiyyah karya Muhammad Ahmad Ismail al-Muqoddam, hal. :36)

Syubhat 2 :

Jabat tangan dengan wanita bukan mahramnya sekarang ini telah menjadi sesuatu yang darurat, karena adat ini begitu tersebar luas di masyarakat..

Jawab :

Tersebarluasnya jabat tangan dengan wanita bukan mahram, bukan keadaan darurat sebagaimana persangkaan sebagian orang. Karena kebiasaan masyarakat tidak memiliki kekuatan untuk merubah hukum yang telah tetap berdasarkan al-Qur’an dan as-Sunnah. Hukum yang bisa dirubah oleh kebiasaan masyarakat adalah hukum yang dasarnya adalah adat istiadat masyarakat, sehingga akan berubah sesuai dengan adat istiadat masyarakat. (ibid, hal. 37)

Syubhat 3 :

Jabat tangan dengan wanita bukan mahramnya boleh, jika dilandasi oleh niatan yang bersih dan hati yang suci.

Jawab :

Syariat yang suci melarang suatu perbuatan yang bisa menimbulkan kerusakan tanpa memperhitungkan niat pelakunya, karena yang dinilai adalah akibat perbuatan tersebut. Selama akibatnya buruk, maka perbuatan yang menyebabkannya dilarang (karena dinilai buruk juga). Hal ini sebagai upaya menutup pintu kerusakan, meskipun pelakunya tidak bermaskud melakukan kerusakan tersebut.

Apabila telah diketahui bahwa tujuan dan niat itu tersembunyi, maka yang tepat adalah tidak memperhitungkannya, karena niat tidak ada standartnya, dan yang diperhitungkan hanyalah yang jelas standartnya. Karena syariat ini berlaku bagi semua manusia, bukan hanya bagi segolongan tertentu saja.

Syeikhul Islam Ibnu Taimiyyah dalam al-Fatawa al-Kubro III/139 menjelaskan :

Sebab-sebab ini, apabila secara umum akan menimbulkan perbuatan haram, maka syariat mengharamkannya secara mutlak. Demikian juga apabila terkadang menimbulkan perbuatan haram dan terkadang tidak, akan tetapi tabiat manusia cenderung terjerumus didalamnya. (Adillah Tahrimi Mushofahah al-Ajnabiyyah karya Muhammad Ahmad Ismail al-Muqoddam, hal. : 18-19.)

Syubhat 4 :

Larangan berjabat tangan tidak berlaku apabila sang wanita adalah seorang yang tua renta, berdasarkan riwayat Abu Bakar yang menyatakan :

أن رسول الله كان يصافح العجائز

Bahwa Rosululloh dahulu berjabat tangan dengan wanita-wanita tua.

Jawab :

Riwayat ini tidak bisa dijadikan dalil, karena sumbernya tidak jelas, sebagaimana dikatakan oleh al-Imam az-Zaila’i dalam Nashbur Rooyah (4/ 240) : Ghorib (yakni : tidak ada sumbernya).

Dengan demikian larangan berjabat tangan dengan wanita bukan mahramnya berlaku umum. Wallohu a’laam. (Mushoofahah al-Ajnabiyyah fii Miizaanil Islam hal. : 45-46.)

Demikianlah tulisan ini kami susun seringkas mungkin agar mudah difahami dan dipraktekkan, sehingga pahala ibadah Romadhon kita senantiasa murni dan bersih dengan permulaan yang baik ini.

Tidak ada komentar: